September 21, 2010

REVIEW: THE SWITCH




































"I -- um, hijacked your pregnancy."

Belum lama ini kita sudah menyaksikan film The Back-up Plan yang mengangkat tema inseminasi, yaitu pembuahan kandungan dengan sumbangan sperma. Kali ini The Switch juga menyentil masalah itu, namun dengan jalan cerita dan permasalahan yang berbeda tentunya. Saya bukan fans berat Jennifer Aniston ataupun Jason Bateman, bisa dikatakan biasa-biasa saja, tidak nge-fans. Akting mereka disini lumayan baik, seperti pada film yang lainnya. Namun entah mengapa menurut saya, mereka kurang cocok disandingkan dalam satu frame. Saya merasa seperti kekurangan chemistry diantara mereka.

Dalam The Switch diceritakan kalau Kassie Larson (Jennifer Aniston) dan Wally Mars (Jason Bateman) adalah sepasang sahabat yang sangat akrab satu sama lain. Mereka bisa curhat tentang segala hal tanpa harus malu atau pusing karena dicampuradukkan dengan rasa cinta. Mereka berdua nyaman dengan status persahabatan tersebut. Sampai akhirnya, tiba-tiba Kassie mengutarakan bahwa ia ingin memiliki seorang anak namun ia tidak membutuhkan lakil-laki dalam proses tersebut karena ia memilih untuk melakukan inseminasi. Ia pun mulai mencari calon pendonor sperma yang menurutnya mendekati sempurna. Kemudian Kassie pun bertemu dengan sang calon tersebut yang bernama Roland (Patrick Wilson); tampan, pintar, terlihat seperti pria baik. Pada malam akan diadakannya proses inseminasi, Wally yang sedang mabuk berat malah menukar benih sperma milik Roland yang telah disiapkan dengan miliknya! Alhasil, Kassie sudah pasti mengandung anaknya. Apakah persahabatan mereka masih bisa berlanjut setelah kejadian ini?

Tema cerita sebetulnya ringan dan cukup menarik, namun secara keseluruhan saya menilai ada yang kurang dalam film ini. Bisa juga dikatakan serba 'nanggung', porsi romantisnya tidak memuaskan, begitu juga porsi komedi. Satu-satunya yang saya nikmati sepanjang film hanya kehadiran anak lelaki bernama Sebastian (Thomas Robinson), yang adalah anak dari Kassie dan Wally. Ini merupakan film layar lebar pertama Thomas dan menurut saya akting dan wajahnya lucu sekali. Semoga akan ada film-film yang akan diperankan lagi oleh aktor cilik tersebut. Overall, The Switch adalah tontonan tipikal genre romantic-comedy, masih layak ditonton. Jadikan saja sebagai pengisi waktu senggang, apalagi kalau anda merupakan penggemar Aniston dan Bateman. :)





September 17, 2010

REVIEW: SANG PENCERAH




































"Sebuah biopik tentang KH Ahmad Dahlan."

Kalau sedang membicarakan tentang sutradara berkualitas di Indonesia, nama Hanung Bramantyo pasti masuk kedalam obrolan. Sebut saja Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Get Married (2007), Doa yang Mengancam (2008), Perempuan Berkalung Sorban (2009), Get Married 2 (2009), Menembus Impian (2010), dan masih banyak lagi. Kali ini Hanung memilih untuk mengangkat kisah hidup dari KH Ahmad Dahlan, yang merupakan pendiri organisasi Muhammadiyah. Sang Pencerah juga ditayangkan bertepatan dengan momen lebaran tahun ini, sehingga nuansanya terasa sangat pas. Film ini juga memboyong para aktor dan aktris ternama dalam negeri seperti Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Sudjiwo Tejo, Ikranegara, Yati Surachman, Dennis Adiswara, dan Zaskia Mecca. Ada juga dua orang penyanyi yang mencoba peruntungan dalam dunia seni peran yaitu Giring 'Nidji' dan Ikhsan 'Idol'. Perlu diketahui, film ini menghabiskan dana sebesar Rp. 12 Miliar!

Berlatar belakang di Jogja, kisah KH Ahmad Dahlan disini diceritakan sejak ia remaja dan masih memakai nama Muhammad Darwis (Ikhsan 'Idol'). Sejak muda Dahlan sudah memiliki jalan pemikiran yang berbeda dari orang lain. Ia ingin melakukan sebuah perubahan yang signifikan dalam agama Islam pada masa itu yang masih percaya tahayul dan menyembah sesajen. Sampai akhirnya Dahlan muda berkesempatan untuk pergi ke Mekkah untuk berhaji dan mendalami ajaran Islam. Setelah lima tahun berada di Mekkah, ia kembali ke kampung halamannya dan memulai perubahan demi perubahan yang menurutnya benar. Tentu saja perubahan yang dibawa Dahlan (Lukman Sardi) tidak segampang itu diterapkan, para penghulu di Masjid Gede Jogja gusar dibuatnya. Makian demi makian mulai dilontarkan kepada Dahlan, bahkan banyak yang menyebutnya 'kafir'. Namun Dahlan tetap memiliki lima orang murid yang setia dan turut andil dalam upayanya mendirikan organisasi Muhammadiyah.

Kalau tentang sejarah agama Islam dan Muhammadiyah saya sama sekali tidak tahu menahu, jadi apakah film ini sesuai dengan kenyataannya saya kurang bisa memberikan komentar. Namun, meskipun Sang Pencerah merupakan sebuah film biopik yang sarat dengan unsur Islami, sebagai non-Muslim saya masih bisa menikmati. Memang pada awalnya saya kurang tertarik dengan film ini, akan tetapi beberapa teman yang sudah menyaksikan membuat saya penasaran dan akhirnya memutuskan untuk mencoba menonton. Ternyata filmnya tidak menggurui dan banyak dialog-dialog bagus yang berisi pesan moral didalamnya. Saya juga merasa Hanung secara tidak langsung sepertinya mencoba untuk menyelipkan beberapa adegan yang 'menyindir' keadaan di negara kita saat ini. Good job! Tokoh Ahmad Dahlan yang diperankan oleh Lukman Sardi menurut saya juga sangat cocok sekali. Ada juga dua nama yang tadinya saya pikir akan jadi lelucon malah menunjukkan performa akting yang baik, yaitu Giring 'Nidji' dan Ikhsan 'Idol'. Secara keseluruhan film ini memiliki nilai produksi diatas rata-rata; skrip, tata gambar, dan pemilihan para pemain sangat baik, begitu juga dengan scoring hasil aransemen Tya Subiakto yang menggugah sepanjang film.





September 9, 2010

REVIEW: DARAH GARUDA


























"Film kedua dari Trilogi Merah Putih"

Trilogi Merah Putih adalah sebuah proyek film yang bisa dikatakan ambisius. Bukan hanya dalam hal biaya, segala hal sepertinya diperhitungkan dengan baik, mulai dari deretan pemain, sutradara, sampai kru-kru yang melibatkan beberapa sineas luar negeri yang sudah pernah menangani film Hollywood. Nama Yadi Sugandi yang duduk di bangku sutradara sudah terkenal di kalangan perfilman sebagai salah satu sinematografer kebanggaan Indonesia. Ia sudah pernah menangani beberapa film dalam negeri yang berkualitas seperti sebut saja Kuldesak (1999), Petualangan Sherina (2000), Pasir Berbisik (2001), Eliana, Eliana (2002), 3 Hari untuk Selamanya (2007), The Photograph (2007), Lost in Love (2008), Laskar Pelangi (2008), dan Minggu Pagi di Victoria Park (2010). Pada tahun 2009, debut pertamanya sebagai sutradara dalam Merah Putih mendapat sambutan yang sangat baik meski filmnya sendiri belum bisa dikatakan sempurna. Namun, saya termasuk menyukai film tersebut. Kali ini film kedua Trilogi tentang perang kemerdekaan Republik Indonesia tersebut dibantu lagi dengan hadirnya sutradara tambahan, Conor Allyn.

Masih merupakan kelanjutan dari film pertamanya, Merah Putih, film ini berlatar belakang masa Indonesia di tahun 1947 dan bercerita tentang nasib keempat tentara gerilya yang berhasil selamat saat berusaha menyerang tentara Belanda. Mereka adalah Amir (Lukman Sardi), Tomas (Donny Alamsyah), Marius (Darius Sinathrya), dan Dayan (T. Rifnu Wikana). Mereka nekat menyerang markas Belanda untuk menyelamatkan ketiga wanita yang mereka cintai, Lastri (Atiqah Hasiholan), Senja (Rahayu Saraswati), dan Melati (Astri Nurdin). Tidak tahan dengan perlakuan Belanda yang seenaknya, perjalanan tentu tidak terhenti sampai disitu saja, mereka memutuskan untuk bergabung dengan para tentara Jendral Sudirman dan pada akhirnya diberikan sebuah tugas rahasia guna melawan Jendral Van Mook (Rudy Wowor) yang keji. Banyak halangan yang mereka temui selama perjalanan, bukan hanya dari tentara Belanda namun juga dari para tentara lokal yang tidak terlalu berpihak kepada mereka.

Darah Garuda dimulai dengan tempo cerita yang lambat dan sedikit membosankan menurut saya. Sampai ke pertengahan film saya merasa tidak ada greget pada saat menonton film ini. Bahasa yang dipergunakan juga sangat baku sehingga skrip dan jalan cerita yang baik sangat diperlukan agar penonton tidak dibuat jenuh. Beruntung mulai dari pertengahan sampai akhir, film ini mampu membangun suasana tegang dan penuh aksi. Special effects yang digunakan juga terlihat lebih halus dibandingkan dengan Merah Putih yang notabene sudah bagus sekali untuk ukuran film Indonesia. Akting para pemain terlihat biasa-biasa saja, ada pula pemain-pemain baru yang kali ini turut membantu film ini seperti Ario Bayu, Alex Komang, dan bintang cilik pendatang baru, Aldy Zulfikar. Diantara semuanya, T. Rifnu Wikana menurut saya menunjukkan performa akting yang paling baik. Ada satu adegan yang merupakan favorit saya, yaitu pada saat ia ditahan dan diinterograsi oleh Belanda. Mimik wajah dan emosi yang dipancarkan sungguh meyakinkan. Tidak ada peningkatan signifikan dari film kedua Trilogi Merah Putih ini, segi cerita masih perlu dibenahi. Saya berharap film ketiganya nanti, Hati Merdeka, akan lebih baik. Namun secara keseluruhan, Darah Garuda merupakan sebuah tontonan yang amat sangat jauh lebih baik dari film-film lokal 'asal jadi' yang sering ada di bioskop kita.





September 7, 2010

REVIEW: HELLO STRANGER (กวน มึน โฮ)




"Not knowing each other. They fall in love."

Bagaimana rasanya pergi ke luar negeri sendirian lalu bertemu dengan seorang lawan jenis yang asik dan akhirnya membuat kita jatuh cinta? Hello Stranger bercerita tentang perasaan itu. Film komedi romantis yang laris di Thailand ini disutradarai oleh Banjong Pisanthanakun yang merupakan sutradara spesialis film horrorThailand, sebut saja Shutter (2004), Alone (2007), 4bia (2008), dan Phobia 2 (2009). Ternyata selain horror, ia juga piawai menggarap film percintaan, buktinya debut pertamanya ini terbilang sukses. Tema cerita yang diangkat memang menarik dan 'aman', banyak orang yang menyukai cerita seperti ini, terutama wanita. Beberapa film Hollywood juga pernah mengangkat tema ini, seperti Before Sunrise (1995), Serendipity (2001), atau Lost in Translation (2003). Entah apa ada yang masih ingat, dulu ada juga serial drama Asia berjudul Friends (2002) yang diperankan aktor Korea, Won Bin, dan aktris Jepang, Kyoko Fukada. Dulu saya suka sekali!


Hello Stranger kali ini tampil dengan tema hampir sama seperti film-film yang saya sebutkan diatas, namun dengan bumbu komedi tipikal Asia yang lebih kental. Dua orang asal Thailand yang secara terpisah berlibur ke Korea. Masing-masing memiliki alasan sendiri untuk berlibur dan menikmati kesendirian di negeri ginseng tersebut, namun takdir mempertemukan mereka dengan cara yang unik. Mereka akhirnya menghabiskan waktu liburan berdua; pergi ke tempat-tempat menarik, bercanda, dan bersenang-senang. Seperti film-film romantis lainnya, timbul perasaan jatuh cinta di hati dua orang asing ini meskipun hanya dalam perkenalan yang singkat. Kalau membaca sinopsisnya memang terdengar klise, memang betul. Akan tetapi menikmati perjalanan pasangan unik ini dari awal sampai akhir sangat seru, kita dibuat tertawa melihat tingkah laku konyol mereka juga dibuat terharu dengan adegan romantis di akhir film.

Menurut saya film ini sangat menghibur, meskipun pada pertengahan komedi yang ditampilkan terkesan sedikit berlebihan, namun kekurangan tersebut mampu tertutupi dengan suguhan ending yang manis. Kedua pemeran utama film ini, Chantavit Dhanasevi dan Nuengtida Sopon, merupakan pasangan yang sangat cocok bermain dalam satu frame. Chemistry mereka terlihat nyata dan didukung juga dengan akting yang natural. Selain berperan sebagai pemeran utama, Chantavit juga menulis skrip film ini. Berlatar belakang di Korea membuat film ini mempunyai nilai tambah lagi, karena banyak kebudayaan Korea yang ditampilkan disini. Dua jam merupakan durasi yang cukup panjang untuk film ini, namun jangan khawatir karena akan banyak lelucon-lelucon menghibur yang siap mengocok perut anda. Hello Stranger hanya ditayangkan di bioskop Blitzmegaplex, menurut saya tidak ada salahnya mencoba menonton film ini, apalagi kalau berdua dengan pasangan. Menghibur, manis, dan romantis! :)